REJEKI NUMPANG LEWAT
Apakah anda percaya bahwa rejeki itu
sudah ditakar dan diukur oleh yang Maha Kuasa, dengan tepat, tidak kurang tidak
lebih dan yang pasti tidak akan salah alamat. Sepenggal kisahku tentang impian
yang tak tertelan meski sudah didalam tenggorokan, semoga menjadi inspirasi dan
kekuatan bagi pembaca yang juga sama merasakan sakitnya sebuah kehilangan,
meski sekedar impian.
Berawal dari sebuah impian untuk menjadi
seorang abdi negara. Klise dan udik kesannya memang, meski tujuh puluh persen
sejujurnya adalah impian orang tua yang ingin saya kabulkan. Bukannya membela
diri, doktrin dari orang tua bahwa menjadi abdi negara adalah salah satu solusi
terbaik untuk mencari rejeki, membuat otak mengerucut menjadikan impian itu
menjadi salah satu tujuan utama dari sebuah perjalanan karir. Hingga pada suatu
titik di kemudian hari, sakitnya sebuah kebenaran akan membuka hati dan pikiran
saya tentang realita kehidupan.
Ketika itu karir saya masih menjadi
seorang karyawan swasta, yang pergi pagi pulang malam. Di tahun 2015 lalu itu
saya sudah menikah dan dikaruniai satu orang putra. Karena jam kerja saya yang
sehari-hari bekerja, maka anak saya titipkan orang tua. Kondisi pekerjaan suami
juga sama, karyawan swasta bagian lapangan yang tiap hari harus mengukur
panjangnya jalan aspal rusak di daerah kami dengan dalih tuntutan target
penjualan.
Bukan hanya sekali dua kali saya ikut
tes CPNS, bahkan hampir tiap ada informasi adanya pembukaan lowongan, saya
dipastikan ikut berpartisipasi. Kerja di swasta sepertinya bukan menjadi passion
atau minat saya waktu itu. Dengan cerita saudara sepupu yang
akhirnya lulus tes CPNS di sebuah kementrian dengan murni dan tanpa sogokan,
membuat semangat mengikuti tes makin membara.
Pada sebuah tes untuk pegawai kabupaten
di daerah saya dibuka untuk umum, kami berbondong-bondong mendaftar untuk tes.
Namun kali ini saya belum beruntung, tidak lolos seleksi, berbeda dengan teman
sepermainan masa kecil yang dengan lancar dan bahagianya lolos dan menjadi
pegawai di pemerintah kota.
Di tahun 2015, saya ikut lagi, dengan
usia yang maksimal, usia terkahir untuk mengikuti tes CPNS waktu itu. Saya
tidak terlalu berharap, karena hanya akan menambah catatan sakit hari
kekecewaan saya saja. Hingga pengumuman dirilis, dan saya dinyatakan lulus tes
dan diterima bekerja di kantor pemerintahan daerah saya.
Dengan semangat 45 saya mengurus
pemberkasan, ditemani oleh suami yang meyempatkan ijin libur kerja, demi
menemani pemberkasan akhir yang membuat hati Bahagia. Dengan harapan kehidupan
perekonomian kami akan lebih baik kedepannya.
Hingga setelah pemberkasan akhir
selesai, kami tinggal menunggu SK, saya mendapatkan telepon dari kantor
kepegwaian daerah. Intinya saya disuruh datang menghadap bapak kepala
kepegawaian daerah secara langsung, meskipun saya tanya perihal apa, mereka
tidak mau menjelaskan.
Dengan tanpa berpikir yang macam-macam,
diantar oleh ayah saya yang sudah sepuh, naik motor sepanjang 2 jam perjalanan,
karena beliau tidak tega jika saya berangkat sendirian. Sampai ditempat,
ternyata pak kepala sedang ada urusan di luar kantor, dan saya di titahkan
untuk menunggu sebentar. Dan akhirnya karena dari rumah belum sarapan, ayah saya
belikan nasi goreng bungkus yang dijual di depan kantor kepegawaian.
Belum juga nasi goreng habis, Bapak
kepala sudah datang, dengan cepat saya kembali menghadap, tapi diberitahu oleh
asisten beliau bahwa selesaikan dulu sarapan kami. Rasa hati sudah tidak nyaman
ini, insting saya mulai merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan.
Selesai makan, akhirnya bapak kepala mau
menerima saya. Saya masuk sendiri kedalam ruangan Bapak kepala. Dan beliau
mulai bercerita. Bahwasannya kelulusan saya adalah sebuah kekeliruan, karena
setelah berkas di cek ulang, saya tidak bisa menempati posisi tersebut karena
masalah ijazah saya yang tidak sesuai dengan kriteria penempatan.
Mohon maaf saudara sekalian saya lulusan
Manajemen Perusahaan, sedangkan yang di butuhkan adalah lulusan Manajemen.
Beliau bahkan menceritakan sebuah kisah, yang diharapkan membuat saya berhenti berharap,
bahwa sebelumnya ada juga yang lulusan dengan gelar S.Pd.I di gagalkan setelah
pengumuman karena tidak sesuai kriteria yaitu yang dibutuhkan adalah gelar
S.Pd.
Bapak kepala berkata jika saya punya
waktu tiga puluh hari untuk mendiskusikan dengan seseorang. Bahkan saya sempat
menanyakan “jumlah” yang tabu untuk ditanyakan, karena jujur, saya hanya
berpikir bahwa saya diperas.
Saya merasa nasi goreng yang baru saya
telan berhenti di lambung. Saya merasa pencernaan saya berhenti saat itu. Dada
saya panas oleh emosi yang tak mampu saya ungkapkan. Saya bahkan diperbolehkan
menangis diruangan itu. Dan tak pelak, tetes kekecewaan jatuh begitu saja
mendengarnya.
Saya merasa jadi orang paling buruk
didunia, saya melihat bapak asisten menatap saya dengan mata yang tidak bisa
dilukiskan dengan kata-kata lain selain, iba. Tapi segera saya ingat ayah saya.
Saya tak boleh menangis demi ayah saya. Jika saya menangis, bagaimana perasaan
ayah, pasti hancur. Biarlah saya hancur, saya yang merasakannya saja, jangan orang
tua saya.
Saya keluar ruangan dengan memaksa
tegar, menjawab pertanyaan ayah dengan baik, bahwa ada peninjauan ulang bahwa
nama saya harusnya tidak keluar di dalam pengumuman, dan saya harus menunggu
selama 30 hari untuk mendengar pengumuman selanjutnya.
Perjalanan pulang saat itu adalah
perjalanan tersunyi dalam sejarah kami. Tak ada satupun kata terucap dari mulut
ayah dan saya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, dan saya tahu ayah
berusaha tidak kecewa untukku, dan saya berusaha untuk terlihat baik-baik saja
dimata ayahku.
Waktu 30 hari aku gunakan untuk berpikir
kembali, benarkah ini layak aku perjuangkan? Andaipun saya diterima bekerja,
maka saya akan berjauhan dengan suami dan anak. Saya akan semakin menyusahkan
orang tua karena pasti wara-wiri untuk membantu mengasuh cucunya. Pengeluaran
pasti juga berlipat ganda karena akan ada dua dapur yang di jatah. Apakah saya
hendak mengejar dengan serius berbicara dengan seseorang yang direkomendasikan
Bapak Kepala, yang kita semua tau ujungnya akan ada sejumlah nominal yang saya
sendiri pun tak memiliki dua digit angka itu. dan ujung-ujungnya akan
menyusahkan orang tua juga. Dan apakah jika saya mengejar dengan cara seperti
itu, berkahkah rejeki saya nanti yang akan dimakan oleh anak saya?
Saya mengadu kepada teman yang bekerja
di pemerintahan kota, dan dia pun merasa kecewa dan menyarankan untuk mengambil
jalur hukum. Saya berpikir kembali, jikalau saya mengambil jalur hukum, akan ada
dua kemungkinan, saya menang dan saya kalah. Jika saya kalah, maka hanya akan
ada lebih banyak pengeluaran, lebih banyak waktu terbuang percuma, dan andaipun
saya menang, saya akan bekerja dengan orang-orang yang memiliki mental seperti
itu, saya akan menjadi titik hitam diantara mereka yang hanya menunggu waktu
untuk dihapus dari peredaran. Menang atau kalah saya tetap kalah.
Akhirnya setelah 30 hari saya disuruh
kembali menghadap, dan dinyatakan tidak jadi lulus. Saya memilih menang dengan
mundur dari perebutan posisi. Saya tau posisi itu sudah terisi dengan nama orang
lain, berdasarkan penyelidikan seseorang yang di dalam.
Dari pelajaran hidup ini saya belajar
ikhlas, kehilangan bahkan sebelum sempat saya miliki adalah sebuah tantangan
keikhlasan. Tuhan pasti merencanakan yang terbaik untuk saya, dan saya percaya
itu. Sulaman kain dan benang akan indah jika sudah jadi, dan dalam prosesnya
kita hanya akan melihat benang kusut dan kain yang diregang dengan kencang.
Bersabarlah maka hasilnya akan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan anda mengomentari, tapi tetap jaga kesopanan yach.. terimakasih atas kunjungannya..