Kamis, 05 Oktober 2023

Mengintip Buku Patah Hati , Antologi ke 29 YPSIM Banten


REJEKI NUMPANG LEWAT

Apakah anda percaya bahwa rejeki itu sudah ditakar dan diukur oleh yang Maha Kuasa, dengan tepat, tidak kurang tidak lebih dan yang pasti tidak akan salah alamat. Sepenggal kisahku tentang impian yang tak tertelan meski sudah didalam tenggorokan, semoga menjadi inspirasi dan kekuatan bagi pembaca yang juga sama merasakan sakitnya sebuah kehilangan, meski sekedar impian.

Berawal dari sebuah impian untuk menjadi seorang abdi negara. Klise dan udik kesannya memang, meski tujuh puluh persen sejujurnya adalah impian orang tua yang ingin saya kabulkan. Bukannya membela diri, doktrin dari orang tua bahwa menjadi abdi negara adalah salah satu solusi terbaik untuk mencari rejeki, membuat otak mengerucut menjadikan impian itu menjadi salah satu tujuan utama dari sebuah perjalanan karir. Hingga pada suatu titik di kemudian hari, sakitnya sebuah kebenaran akan membuka hati dan pikiran saya tentang realita kehidupan.

Ketika itu karir saya masih menjadi seorang karyawan swasta, yang pergi pagi pulang malam. Di tahun 2015 lalu itu saya sudah menikah dan dikaruniai satu orang putra. Karena jam kerja saya yang sehari-hari bekerja, maka anak saya titipkan orang tua. Kondisi pekerjaan suami juga sama, karyawan swasta bagian lapangan yang tiap hari harus mengukur panjangnya jalan aspal rusak di daerah kami dengan dalih tuntutan target penjualan.

Bukan hanya sekali dua kali saya ikut tes CPNS, bahkan hampir tiap ada informasi adanya pembukaan lowongan, saya dipastikan ikut berpartisipasi. Kerja di swasta sepertinya bukan menjadi passion atau minat saya waktu itu. Dengan cerita saudara sepupu yang akhirnya lulus tes CPNS di sebuah kementrian dengan murni dan tanpa sogokan, membuat semangat mengikuti tes makin membara.

Pada sebuah tes untuk pegawai kabupaten di daerah saya dibuka untuk umum, kami berbondong-bondong mendaftar untuk tes. Namun kali ini saya belum beruntung, tidak lolos seleksi, berbeda dengan teman sepermainan masa kecil yang dengan lancar dan bahagianya lolos dan menjadi pegawai di pemerintah kota.

Di tahun 2015, saya ikut lagi, dengan usia yang maksimal, usia terkahir untuk mengikuti tes CPNS waktu itu. Saya tidak terlalu berharap, karena hanya akan menambah catatan sakit hari kekecewaan saya saja. Hingga pengumuman dirilis, dan saya dinyatakan lulus tes dan diterima bekerja di kantor pemerintahan daerah saya.

Dengan semangat 45 saya mengurus pemberkasan, ditemani oleh suami yang meyempatkan ijin libur kerja, demi menemani pemberkasan akhir yang membuat hati Bahagia. Dengan harapan kehidupan perekonomian kami akan lebih baik kedepannya.

Hingga setelah pemberkasan akhir selesai, kami tinggal menunggu SK, saya mendapatkan telepon dari kantor kepegwaian daerah. Intinya saya disuruh datang menghadap bapak kepala kepegawaian daerah secara langsung, meskipun saya tanya perihal apa, mereka tidak mau menjelaskan.

Dengan tanpa berpikir yang macam-macam, diantar oleh ayah saya yang sudah sepuh, naik motor sepanjang 2 jam perjalanan, karena beliau tidak tega jika saya berangkat sendirian. Sampai ditempat, ternyata pak kepala sedang ada urusan di luar kantor, dan saya di titahkan untuk menunggu sebentar. Dan akhirnya karena dari rumah belum sarapan, ayah saya belikan nasi goreng bungkus yang dijual di depan kantor kepegawaian.

Belum juga nasi goreng habis, Bapak kepala sudah datang, dengan cepat saya kembali menghadap, tapi diberitahu oleh asisten beliau bahwa selesaikan dulu sarapan kami. Rasa hati sudah tidak nyaman ini, insting saya mulai merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan.

Selesai makan, akhirnya bapak kepala mau menerima saya. Saya masuk sendiri kedalam ruangan Bapak kepala. Dan beliau mulai bercerita. Bahwasannya kelulusan saya adalah sebuah kekeliruan, karena setelah berkas di cek ulang, saya tidak bisa menempati posisi tersebut karena masalah ijazah saya yang tidak sesuai dengan kriteria penempatan.

Mohon maaf saudara sekalian saya lulusan Manajemen Perusahaan, sedangkan yang di butuhkan adalah lulusan Manajemen. Beliau bahkan menceritakan sebuah kisah, yang diharapkan membuat saya berhenti berharap, bahwa sebelumnya ada juga yang lulusan dengan gelar S.Pd.I di gagalkan setelah pengumuman karena tidak sesuai kriteria yaitu yang dibutuhkan adalah gelar S.Pd.

Bapak kepala berkata jika saya punya waktu tiga puluh hari untuk mendiskusikan dengan seseorang. Bahkan saya sempat menanyakan “jumlah” yang tabu untuk ditanyakan, karena jujur, saya hanya berpikir bahwa saya diperas.

Saya merasa nasi goreng yang baru saya telan berhenti di lambung. Saya merasa pencernaan saya berhenti saat itu. Dada saya panas oleh emosi yang tak mampu saya ungkapkan. Saya bahkan diperbolehkan menangis diruangan itu. Dan tak pelak, tetes kekecewaan jatuh begitu saja mendengarnya.

Saya merasa jadi orang paling buruk didunia, saya melihat bapak asisten menatap saya dengan mata yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata lain selain, iba. Tapi segera saya ingat ayah saya. Saya tak boleh menangis demi ayah saya. Jika saya menangis, bagaimana perasaan ayah, pasti hancur. Biarlah saya hancur, saya yang merasakannya saja, jangan orang tua saya.

Saya keluar ruangan dengan memaksa tegar, menjawab pertanyaan ayah dengan baik, bahwa ada peninjauan ulang bahwa nama saya harusnya tidak keluar di dalam pengumuman, dan saya harus menunggu selama 30 hari untuk mendengar pengumuman selanjutnya.

Perjalanan pulang saat itu adalah perjalanan tersunyi dalam sejarah kami. Tak ada satupun kata terucap dari mulut ayah dan saya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, dan saya tahu ayah berusaha tidak kecewa untukku, dan saya berusaha untuk terlihat baik-baik saja dimata ayahku.

Waktu 30 hari aku gunakan untuk berpikir kembali, benarkah ini layak aku perjuangkan? Andaipun saya diterima bekerja, maka saya akan berjauhan dengan suami dan anak. Saya akan semakin menyusahkan orang tua karena pasti wara-wiri untuk membantu mengasuh cucunya. Pengeluaran pasti juga berlipat ganda karena akan ada dua dapur yang di jatah. Apakah saya hendak mengejar dengan serius berbicara dengan seseorang yang direkomendasikan Bapak Kepala, yang kita semua tau ujungnya akan ada sejumlah nominal yang saya sendiri pun tak memiliki dua digit angka itu. dan ujung-ujungnya akan menyusahkan orang tua juga. Dan apakah jika saya mengejar dengan cara seperti itu, berkahkah rejeki saya nanti yang akan dimakan oleh anak saya?

Saya mengadu kepada teman yang bekerja di pemerintahan kota, dan dia pun merasa kecewa dan menyarankan untuk mengambil jalur hukum. Saya berpikir kembali, jikalau saya mengambil jalur hukum, akan ada dua kemungkinan, saya menang dan saya kalah. Jika saya kalah, maka hanya akan ada lebih banyak pengeluaran, lebih banyak waktu terbuang percuma, dan andaipun saya menang, saya akan bekerja dengan orang-orang yang memiliki mental seperti itu, saya akan menjadi titik hitam diantara mereka yang hanya menunggu waktu untuk dihapus dari peredaran. Menang atau kalah saya tetap kalah.

Akhirnya setelah 30 hari saya disuruh kembali menghadap, dan dinyatakan tidak jadi lulus. Saya memilih menang dengan mundur dari perebutan posisi. Saya tau posisi itu sudah terisi dengan nama orang lain, berdasarkan penyelidikan seseorang yang di dalam.

Dari pelajaran hidup ini saya belajar ikhlas, kehilangan bahkan sebelum sempat saya miliki adalah sebuah tantangan keikhlasan. Tuhan pasti merencanakan yang terbaik untuk saya, dan saya percaya itu. Sulaman kain dan benang akan indah jika sudah jadi, dan dalam prosesnya kita hanya akan melihat benang kusut dan kain yang diregang dengan kencang. Bersabarlah maka hasilnya akan indah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan anda mengomentari, tapi tetap jaga kesopanan yach.. terimakasih atas kunjungannya..